JAKARTA - Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) Muridan S Widjojo menegaskan, keinginan untuk merevisi
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi
Provinsi Papua harus didasarkan pada kesepakatan antara dua pihak, yakni
pemerintah pusat dan masyarakat Papua.
Muridan menegaskan, memang implementasi UU Otsus Papua selama ini belum optimal dan cenderung tidak mendapatkan legitimasi dari masyarakat Papua. Baik pemerintah pusat dan masyarakat Papua cenderung tidak menghiraukan UU tersebut, bahkan ada stigma negatif dalam masa otonomi khusus Papua di kalangan masayarakat Papua bahwa di masa Otsus korupsi makin tinggi.
Muridan menegaskan, memang implementasi UU Otsus Papua selama ini belum optimal dan cenderung tidak mendapatkan legitimasi dari masyarakat Papua. Baik pemerintah pusat dan masyarakat Papua cenderung tidak menghiraukan UU tersebut, bahkan ada stigma negatif dalam masa otonomi khusus Papua di kalangan masayarakat Papua bahwa di masa Otsus korupsi makin tinggi.
Sebenarnya, lanjut Muridan, subtansi yang terkandung dalam UU Otsus Papua sudah baik. Namun UU otsus tersebut merupakan hasil pemikiran dari para ahli, bukan kehendak penuh dan kesepakatan murni dari dua pihak, yakni pusat dan daerah.
"Kalau harus revisi, tidak boleh sepihak, harus ada kesepakatan dan pemabahsan antara pemimpin masyarakat Papua dan pemerintah pusat. Masalahnya bukan di isi uu, tetapi yang menjadi masalah adalah UU tersebut tidak punya legitimasi, dua-duanya (pusat dan masayrakat papua) tidak terima. Itu kan UU hasil orang-orang pintar. Kalau sama-sama bersikap seperti itu, gak akan terlaksana optimal," ungkapnya di Jakarta, Kamis (8/12).
Dan untuk meredam konflik yang saat ini terjadi, ujar Muridan, perlu dipercepat adanya dialog antara Presiden dan pemimpin kelompok-kelompok di Papua. Ia megatakan, dialog yang bermartabat dapat memberikan kesempatan untuk menyelesaikan konflik di Papua.
"Tergantung pemerintah. Disepakati aja. Kan bisa diberikan kompensasi politik," ujar Muridan.
Ia menyebutkan, paling tidak ada 10 kelompok besar di Papua yang harus diajak berdialog. Dikatakannya, kehadiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Bumi Cendrawasih akan berpengaruh secara psikologis pada rakyat Papua.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menegaskan pemerintah siap untuk merevisi Otsus Papua apabila bisa menyelesaikan konflik di wilayah tersebut.
Ia mengatakan, pemerintah akan menunggu usulan perubahan UU tersebut dari perwakilan masyarakat Papua. Menurut Gamawan, dalam UU disebutkan tata cara otsus bisa direvisi apabila ada usulan dari DPR Papua atau Majelis Rakyat Papua (MRP) kepada pemerintah atau DPR.
Sumber: Mediaindonesia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar