Jumat, 09 Desember 2011

Pemerintah Sulit Petakan Kelompok Separatis di Papua

JAKARTA, (PRLM).-Pemerintah kesulitan memetakan kelompok separatis di Papua untuk diajak berdialog dalam rangka mencari solusi konflik sosial di provinsi ujung timur Indonesia itu. Selain tersebar di berbagai kelompok yang berbeda, gerakan kemerdekaan Papua itu juga tidak memiliki komando pusat.
Utusan Pemerintah RI untuk dialog dengan Papua, Farid Hussein mengatakan hal itu dalam Diskusi bertajuk "Dialog Jakarta-Papua" yang diselenggarakan di Sekretariat The Indonesian Institute, Jln. Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Kamis (8/12).

Karakter gerakan merdeka di Papua cukup berbeda dengan Aceh yang di waktu lalu berada di bawah komando Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sehingga relatif lebih mudah dalam memulai negosiasi perdamaian.


Di Papua, kelompoknya secara umum terbagi dua, yaitu antara kelompok politik dan kelompok bersenjata. Kelompok politiknya tersebar di dalam dan luar negeri. Sementara, kelompok bersenjatanya juga tersebar di pesisir, pelosok, hutan, dan di beberapa lokasi sulit dijangkau. Selain itu, Farid juga mengidentifikasi adanya kelompok bersenjata hasil bentukan.

Saat ini, Tim Utusan Khusus terus memetakan kelompok-kelompok tersebut untuk kemudian diajak bicara. 
Farid mengatakan, akar konflik di Papua adalah kekecewaan yang sudah menggunung dan bertahan dalam waktu lama karena ketidakadilan ekonomi, politik, sosial, dan hukum.

"Kecewa berkepanjangan di Papua memunculkan ketidakpercayaan mereka pada pemerintah. Kecewa karena ketidakadilan ekonomi, sosial, dan hukum. Yang terjadi di Papua pemerintah tidak ada upaya signifikan untuk membangun rasa saling percaya. Contoh di Aceh, antara pemerintah dan GAM sudah saling percaya," ujarnya.

Mantan Ketua DPRD Papua Barat, Jimmy D. Ijie mengatakan di dalam kelompok Papua merdeka itu terbagi lagi antara yang idealis dan pragmatis. Berbeda dengan Aceh atau Timor Leste yang terpimpin oleh Xanana Gusmao.

Menurut dia, kelompok pragmatis lebih besar jumlahnya. "Mereka kelompok pragmatis itu ramai-ramai jadi makelar politik, kampanye pilkada, sekarang mereka tidak bicara lagi merdeka. Selain itu, frekuensi perang antara orang Papua sendiri, di antaranya perang antarsuku juga masih sering," katanya.

Pada kesempatan itu, turut hadir sebagai pembicara. yaitu Staf Khusus Presiden di Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat, Amiruddin Harahap dan Peneliti Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bhakti.

Menurut Ikrar, apapun upaya yang dilakukan, tidak akan berhasil jika masih ada niat tidak tulus yang disebut warga Papua sebagai aksi tipu-tipu. Di antaranya, kebohongan publik masih terus terjadi. "Contohnya hasil audit investigasi yang menyebutkan bahwa Polri tidak pernah terima dana dari Freeport sebesar 14 juta USD. Padahal dalam laporan keuangan Freeport, disebutkan ada 14 juta USD atau sekitar Rp 126 miliar pada tahun 2010 untuk operasi keamanan bersama Polri," ujarnya.

Selain itu, Ikrar menyoroti masih tingginya angka kekerasan dengan pola yang sama seperti dilakukan TNI di masa lalu. Di antaranya Ikrar menyinggung kematian tiga warga Papua dalam keadaan mata tercongkel dan ditemukan di dekat Markas Korem. "Kemudian disebutkan bahwa kematian tiga warga itu tidak ada hubungannya dengan Kongres Papua," ujarnya.

Contoh lain yaitu anggaran APBN sebesar Rp 5 triliun untuk otonomi khusus Papua itu sesungguhnya tidak besar karena harus dibagi dengan 44 kabupaten/kota di Papua dan Papua Barat. Dengan demikian, total untuk masing-masing kabupaten/kota mendapat Rp 52-60 miliar per tahun. Sementara, biaya membangun jalan di Papua sangat mahal mencapai Rp 5 miliar per kilometer. "Yang penting bukan pembangunan fisik, tapi juga pembangunan manusia," ucapnya.

Amiruddin menyambut baik munculnya Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2011 untuk menyelesaikan masalah Papua. Melalui Perpres tersebut, terbentuknya UP4B memperjelas tempat terpusat untuk penangangan masalah Papua.

"Perpres membuat unit ini sebagai langkah baik karena kita tidak bisa menyelesaikan masalah Papua tanpa ada tempat yang jelas. Sebelumnya, pejabat Papua harus bolak-balik ke berbagai lembaga di Jakarta dari mulai BIN sampai DPR," katanya.

Selama dialog berlangsung yang diupayakan tim utusan khusus presiden yaitu Farid Hussein dan Letjend. Bambang Dharmono, pembangunan dan pelayanan publik dasar harus dipercepat. Amiruddin menambahkan, upaya itu di antaranya dengan menambah dana anggaran otonomi khusus Papua sebesar Rp 5,4 triliun pada tahun 2012 dari sebelumnya Rp 5 triliun pada tahun 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar